perkembangan sistem peyediaan air bersih di kota makassar tahun 1924-2006.

ABSTRAK
Penelitian tentang perkembangan sistem penyediaan air bersih di Kota Makassar tahun 1924-2006, berada dalam kerangka tema arkeologi industri. Penelitian ini menggunakan konsep sistem penyediaan air bersih sebagai ilmu bantu dalam menelaah bukti artefaktual yang terdiri atas; kompenen sumber air baku (Intake), komponen jaringan transmisi air baku,komponen instalasi pengolahan air (IPA), dan komponen aranadistribusi air bersih di Kota Makassar. Penelitian ini tidak hanya berupaya menjelaskan perkembangan komponen fisik penyediaan air bersih, akan tetapi secara sistematis juga berupaya penjelaskan perkembangan jaringan distribusi (wilayah pelayanan) dan bentuk- bentuk penggunaan air bersih. Di samping itu penelitian ini perupaya menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan sistem penyediaan air bersih di Kota Makassar sejak tahun 1924-2006.
Dari segi perkembangan struktur fisik fasilitas pengolahan air bersih, penelitian menunjukkan bahwa sejak masa Kolonial Belanda tahun 1924 hingga tahun 2006, perubahan yang terjadi tidak begitu signifikan, sebab aspek bentuk, teknologi, maupun fungsi fasilitas-fasilitas penyediaan air yang dimaksud sering kali mengalami keterulangan. Demikian dalam proses penyediaan air bersih, jika merujuk pada konsep sistem penyediaan air yang diajukan Tchobsnoglous (1986), maka tahap-tahap pengolahan air yang dilakukan pada keseluruhan IPA— termasuk proses pengolahan air IPA Ratulangi pada masa Kolonial Belanda— kesemuanya dapat dikategorikan sebagai proses pengolahan air yang lengkap, yang dimulai dari proses prasedimentasi, proses koagulasi, proses sedimentasi, proses filtrasi, dan proses desinfeksi.

Dalam hal pelayanan air bersih, hasil telaah artefaktual terhadap sejumlah komponen jaringan distribusi air bersih menunjukkan bahwa, pada masa kolonial Belanda, jaringan distribusi air bersih hanya menjangkau sebagian besar wilayah kota, yaitu di beberapa jalan utama dimana terdapat bangunan-bangunan infrastruktur pemerintah Hindia Belanda khususnya yang berada di kawasan Vlaardingen dan sebagian pula pusat perekonomian di daerah pecinaan. Sementara Kampong Melayu, Kampong Wajo dan Bontoala yang merupakan zona pemukiman bagi orang-orang pribumi, sama sekali tidak mendapatkan pelayanan air bersih. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 dan memasuki masa kemerdekaan hingga tahun 1976, pelayanan air bersih menunjukkan suatu perubahan yang signifikan. Perlusan pelayanan air bersih dalam kurun waktu tersebut berkembang secara sporadis di wilayah Utara, Timur dan Selatan kota, akibat berkembangnya kawasan tersebut sebagai pusat Industri dan perniagaan. Bahkan pada fase-fase awal kemerdekaan tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, dapat dikatakan telah menyentu keseluruhan bidang-bidang ehidupan, tidak hanya terbatas pada bidang pemerintahan dan bidang perekonomian (industri dan perdanganan), tetapi telah menyentu bidang perumahan dan bidang sosial lainnya. Sejak tahun 1980-an laju urbanisasi yang semakin kompleks sangat sulit diimbangi pelayanan air bersih yang mencukupi, bahkan hingga tahun 2006, kecukupan pelayanan hanya mencapai 71,51 persen dari total jumlah penduduk Kota Makassar.Dalam perkembangan sistem penyediaan air bersih di Kota Makassar, setidaknya terdapat dua faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu pertama; faktor kebijakan terhadap penanganan asilitas penyediaan air bersih dan kebijakan terhadap masalah pendistribusian air bersih bagi masyarakat. Sedangkan faktor yang kedua; adalah faktor kebutuhan akibat perkembangan organisasi ruang Kota Makassar. Faktor kedua ini terkait dengan perkembangan pola pelayanan air bersih yang cenderung mengikuti pola perkembangan ruang kota.